Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Dua)

Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Dua)

Bendera USAID.-DOK.USAID-

Sebagai ilustrasi, USAID sudah memiliki daftar seluruh sektor swasta di setiap negara di mana mereka beroperasi. Pada saat yang sama, bantuan keuangan kepada dunia usaha disederhanakan dalam membentuk bank pembangunan terpisah (yang digabung dengan DCA) untuk mengurusnya secara langsung.

Dengan melembagakan PSE, jelas pada dasarnya USAID melembagakan keuntungan dalam program bantuan luar negerinya, yang justru dimulai (setidaknya di atas kertas) dari suatu keharusan moral. 

Studi yang dilakukan Brookings Institution pada 2016 menemukan bahwa sejak 2001, lebih dari 1.600 KPS diprakarsai oleh USAID. Dari jumlah ini, 54 % terkait langsung dengan keuntungan komersial si mitra bisnis, sementara 29 % lainnya terkait dengan 'keuntungan strategis' si mitra bisnis agar tersebar lebih luas. 

Margin keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta, menurut argumen, akan menjamin keberlanjutan program KPS dalam jangka panjang, karena perusahaan dapat terus berfungsi meskipun USAID tidak lagi memberikan bantuan apa pun.

Meski demikian, margin keuntungan juga didasarkan pada konsumsi sumber daya yang tidak berkelanjutan sehingga merampas sumber daya ekologi dan sumber daya manusia yang justru dapat digunakan untuk membangun kemandirian negara-negara miskin. 

Mari kita kembali ke DuPont, salah satu mitra kesayangan USAID. Pada 2018, perusahaan itu didenda lebih dari US$3 juta karena pelanggaran lingkungan oleh EPA; pada 2019, DuPont menjadi pencemar air terbesar di AS, dengan peringkat tertinggi dalam indeks 100 pencemar air. 

Pada tahun berikutnya, DuPont bermitra dengan USAID dalam penyediaan air bersih di perkampungan yang dilanda kekeringan di Ethiopia.

BACA JUGA: Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Satu)

Coca-Cola, Salah Satu Mitra Terbesar USAID

Entah bagaimana, kita diminta untuk meyakini bahwa pencemar air terbesar di Amerika bisa memberikan solusi air bersih yang berkelanjutan di Ethiopia. 

Hal serupa juga terjadi dengan Coca-Cola (yang berulang kali dikritik menjadi penyebab menipisnya air, polusi air, dan mengeringkan sumur petani) justru memiliki kemitraan jangka panjang dengan USAID dalam meningkatkan akses air bersih di negara-negara berkembang. 

Kemitraan dengan USAID membantu perusahaan-perusahaan itu mendongkrak citra dan melanjutkan operasi mereka—sebuah operasi yang malah membuat kekeringan semakin parah. 

Perusahaan-perusahaan besar itu, yang juga terperosok dalam kontroversi lingkungan hidup dan hak asasi manusia di AS, bahkan diberi imbalan 'pintu belakang' ke pasar negara-negara miskin agar memperbaiki masalah-masalah yang justru ditimbulkan atau diberperburuk oleh operasi mereka.

Pertanyaannya, ketika seluruh sumber daya habis dan tak ada lagi margin keuntungan yang bisa dihasilkan, apa yang menjadi insentif bagi perusahaan untuk tetap bertahan?

USAID Membantu Bisnis AS Kaya dengan Cepat

Sumber: