Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Tiga)

Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Tiga)

Bendera USAID.-DOK.USAID-

JURNALISID.COM --- Kemitraan dengan perusahaan multinasional dibenarkan berdasarkan ukuran dan sumber dayanya, namun sering kali perusahaan-perusahaan tersebut justru memperburuk masalah (atau tidak mempunyai kemampuan untuk mengatasinya). Pekerja anak di rantai pasok kakao adalah contoh utama. 

Perusahaan cokelat terbesar seperti Hershey’s, Mars, Mondelez (perusahaan di belakang Cadbury), dan Nestle telah bermitra dengan USAID untuk mengatasi masalah ini. Semua perusahaan besar itu memiliki Sistem Pemantauan dan Remediasi Pekerja Anak (CLMRS). 

Rencana mereka berfokus pada dua negara penghasil kakao terbesar, Pantai Gading dan Ghana. Antara 2012 hingga 2016, Nestle sendiri menginvestasikan sekitar US$10,9 juta dalam pemantauan pekerja anak. 

Mereka juga menginvestasikan lebih dari US$21 juta antara 2012 hingga 2018 untuk pembangunan sekolah. Dalam kedua kasus tersebut, tujuannya adalah untuk mengurangi pekerja anak dalam rantai pasokan perusahaan.

Namun pekerja anak bukannya berkurang, malah meningkat! Studi baru yang dilakukan NORC di Universitas Chicago menemukan bahwa di dua negara penghasil kakao terbesar itu, pekerja anak malah meningkat sebesar 13 poin persentase antara 2008-09 hingga 2018-19, saat produksi kakao meningkat sebesar 62 %. 

Di saat yang sama, perusahaan-perusahaan cokelat terbesar mulai berbicara mengenai pertanian berkelanjutan, bagaimana meningkatkan taraf hidup petani. Mars memiliki program Cocoa for Generations, Hershey's memiliki strategi Cocoa for Good. 

Mereka semua menyanggupi untuk berbuat baik bagi petani sekaligus berbuat baik untuk diri mereka sendiri. Namun keuntungan yang didapat masih terkonsentrasi pada perusahaan-perusahaan besar (di AS, lebih dari 74 % industri cokelat dikendalikan oleh hanya empat perusahaan), produksi kakao pun masih terkait dengan deforestasi dan pekerja anak, bahkan para petani masih menerima sedikit keuntungan dari miliaran dolar keuntungan yang diraup perusahaan-perusahaan tersebut. 

Rata-rata petani di Afrika menghasilkan US$0,78 per hari dari kakao, sementara industri cokelat menghasilkan penjualan lebih dari US$100 miliar per tahun dan diperkirakan akan mencapai US$171,6 miliar pada 2026. 

Sekitar 60 % kakao dunia berasal dari Pantai Gading dan Ghana, yang justru sangat sedikit dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Keuntungan yang diperoleh juga sangat sedikit dibagikan kepada masyarakat.

Mitra swasta USAID mengatakan permasalahan seperti pekerja anak sangat sulit untuk diselesaikan karena negara-negara seperti Pantai Gading dan Ghana masih terbelakang—namun keterbelakangan itu justru menjadi keuntungan besar bagi mereka. 

Negara-negara berpendapatan rendah menawarkan tenaga kerja yang murah, negara-negara berpendapatan menengah merupakan konsumen baru yang belum dimanfaatkan, dan kurangnya institusi lokal yang kuat di kedua negara membuat perusahaan-perusahaan besar dan kaya itu bebas hambatan. 

USAID menekankan adanya tumpang tindih antara kepentingan sektor swasta yang mencari keuntungan dengan program pembangunan di negara-negara miskin. Namun jika memang terjadi tumpang tindih, maka hal tersebut sifatnya kecil dan lemah serta disebabkan oleh eksploitasi kerentanan negara-negara berkembang demi kepentingan AS. 

Pada 2016, kelaparan global meningkat untuk pertama kalinya di abad ini. Jumlahnya terus meningkat sejak saat itu. Di Afrika, benua yang menerima perhatian paling besar melalui program ketahanan pangan seperti FTF, sekitar seperlima populasinya—atau lebih dari 250 juta orang—dilaporkan mengalami kekurangan gizi pada 2019. 

Sumber: