Mengenang 20 Tahun Tsunami Aceh: Kisah Martunis, Anak yang Bertahan Hidup di Laut
Martunis, anak yang selamat dari gempa dan tsunami Aceh 2024 lalu.-Instagram-
JURNALISID.COM --- Dua puluh tahun lalu, pada 26 Desember 2004, gempa berkekuatan 9,3 skala Richter (SR) mengguncang Aceh, memicu tsunami dahsyat yang merenggut sekitar 170.000 nyawa, termasuk kehidupan Martunis yang saat itu baru berusia tujuh tahun. Martunis, 27, mengenang kembali peristiwa kelam itu dengan jelas.
"Saya sedang bermain sepak bola dengan teman-teman ketika tiba-tiba gempa terjadi. Saya langsung berlari pulang dan berkumpul dengan ibu, kakak perempuan, dan adik perempuan saya. Kami saling berpelukan. Ketika lemari pakaian kami jatuh akibat gempa, ibu meminta saya untuk memanggil ayah yang saat itu sedang bekerja di tambak ikan, agar segera pulang. Tak lama setelah itu, seseorang berteriak bahwa air sedang naik, dan kami segera berusaha masuk ke dalam mobil pick-up. Namun, air semakin dekat dan akhirnya keluarga saya serta saya tersapu oleh tsunami. Saya mencoba mengangkat adik saya yang tenggelam, tetapi kami terpisah. Saya pingsan beberapa kali, dan ketika sadar, saya sudah berada di atas kasur. Kasur itu mulai tenggelam, dan saya mencoba meraih benda lain untuk tetap terapung, seperti bangku sekolah, tetapi bangku itu juga tenggelam. Lalu, saya melihat sebuah kelapa dan memeluknya hingga akhirnya saya berhasil naik ke kasur lain. Tiba-tiba, saya terjebak di pohon," kenang Martunis.
Tiga minggu setelah bencana, Martunis ditemukan di rawa dekat pantai oleh kru televisi Inggris yang sedang syuting dengan nelayan lokal. Ia bertahan hidup dengan meminum genangan air, mi instan, dan apapun yang ditemukannya.
BACA JUGA: Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Satu)
Dalam keadaan dehidrasi, kelaparan, dan digigit nyamuk, Martunis akhirnya dibawa ke kantor Save the Children di mana staf telah menunggu untuk membantunya dan kemudian membawanya ke rumah sakit lokal untuk dirawat. Di rumah sakit, Save the Children berhasil menyatukan Martunis dengan ayah dan neneknya pada hari yang sama.
Ian Dovaston, mantan reporter berita dan bagian dari tim di Aceh yang menemukan Martunis di pantai, berkata, "Kami baru saja berada di Save the Children sehari sebelumnya, dan mereka menunjukkan kepada kami sistem luar biasa yang mereka bangun untuk melacak anggota keluarga. Kami menelepon lebih dulu, dan mereka sudah menunggu kami datang dengan mobil bersama Martunis, yang jelas membutuhkan bantuan medis. Dari panggilan kami, saya pikir mereka sudah mendapatkan cukup informasi untuk menghubungkan Martunis dengan ayahnya, yang mereka ketahui masih hidup dan berada di rumah sakit. Kami langsung pergi ke sana bersama teman-teman dari Save the Children dan menyaksikan serta merekam momen ketika sang ayah dipertemukan kembali dengan putranya."
"Rasanya luar biasa, dan saya sangat bersyukur bisa bertemu kembali dengan ayah saya. Saya tidak sadar bahwa saya telah berada di laut selama 21 hari. Rasanya hanya seperti 3 hari bagi saya. Ketika pertama kali bertemu ayah, saya langsung bertanya di mana ibu, kakak, dan adik saya. Ayah saya memberitahukan bahwa mereka sudah meninggal, dan saya menangis saat memeluknya," ungkap Martunis yang mengenang momen itu dengan penuh emosional.
Tsunami yang terjadi pada 2004 dimulai dengan gempa bumi yang berpusat di Samudra Hindia, sekitar 250 kilometer dari pantai barat Aceh. Gempa ini memicu gelombang laut setinggi 30 meter yang meluluhlantakkan pesisir Aceh, Sumatra Utara, dan negara-negara di sekitar Samudra Hindia seperti Thailand, Sri Lanka, dan India, serta merenggut sekitar 230.000 nyawa.
Tsunami ini juga dikenal sebagai salah satu gempa terdahsyat dalam sejarah modern, dengan episentrum yang dekat dengan lempeng Sunda.
BACA JUGA: Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Dua)
Dalam merespons bencana ini, Save the Children bersama berbagai lembaga lainnya meluncurkan program Family Tracing and Reunification (FTR), yaitu program penelusuran dan penyatuan kembali keluarga yang dilengkapi dengan protokol ketat untuk memastikan bahwa mereka yang mengeklaim sebagai kerabat benar-benar sah.
Martunis adalah salah satu contoh keberhasilan dari program ini. Pada saat pelaksanaan program FTR, dinding-dinding dengan cepat dipenuhi foto dan selebaran tentang kerabat yang hilang, termasuk di kantor Save the Children di Aceh.
Save the Children mengambil peran utama dalam mengoordinasikan pencarian anak-anak yang terpisah dari keluarga mereka.
Sumber: save the children