Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Tiga)

Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Tiga)

Bendera USAID.-DOK.USAID-

Angka ini lebih dari dua kali lipat rata-rata global, dan naik dibandingkan 2014. Prevalensi kekurangan gizi di Afrika diperkirakan akan semakin meningkat, dari 19 % pada 2019 menjadi 26 % pada 2030. Sekali lagi, sektor swasta gagal menyelesaikan permasalahan yang mereka klaim tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah.

BACA JUGA: Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Satu)

BACA JUGA: Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Dua)

USAID-Indonesia di Jalan Merdeka Selatan

USAID, seperti semua lembaga publik di Amerika, mengklaim bekerja atas nama rakyat Amerika. Hal ini bukan saja tidak benar, namun keterlibatan USAID terhadap sektor swasta bertentangan dengan premis 'moral' yang mendasari pendiriannya. 

Kita tahu bahwa setidaknya beberapa dari 'orang-orang Amerika' yang USAID klaim menjadi perwakilan mereka telah melakukan perlawanan panjang terhadap perusahaan-perusahaan yang bermitra dengan USAID. 

Kita juga telah melihat bagaimana motif keuntungan sektor swasta, bahkan dengan niat yang dianggap mulia, tidak sejalan dengan kepentingan pembangunan yang seharusnya dilayani oleh bantuan asing. 

Dengan menyokong perusahaan-perusahaan yang memiliki sejarah kelam karena menggunakan kekuasaan mereka untuk memutarbalikkan pemerintahan sehingga merugikan warga negaranya, serta memanfaatkan peluang di negara-negara miskin—yang banyak tidak memiliki infrastruktur kelembagaan atau kebebasan masyarakat sipil untuk mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan oleh korporasi—membuat USAID tidak hanya gagal membantu negara-negara berkembang, tapi juga membantu perusahaan-perusahaan besar lebih mengonsolidasikan kekuasaan mereka.

Dalam beberapa tahun terakhir USAID telah menggunakan istilah 'transformasi' untuk mendorong kebijakan yang bertujuan meningkatkan keterlibatan sektor swasta. Namun, inilah saatnya membayangkan sebuah transformasi yang ogah bergantung kepada "kebaikan" perusahaan-perusahaan yang justru paling tidak etis di seluruh dunia. (Habis) (Igor Rangga/Atn)

 

Sumber: