Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Satu)

Bantuan Berujung Profit: Sejarah Kelam USAID (Tulisan Satu)

Bendera USAID.-DOK.USAID-

Di tahun-tahun awal berdirinya USAID, lembaga ini mendukung negara-negara miskin dengan cara menghilangkan hambatan yang dihadapi perusahaan swasta. Namun dalam beberapa dekade setelahnya, batasan antara USAID dengan perusahaan swasta mulai kabur. 

Strategi USAID dalam beberapa dekade pertama adalah untuk membangun infrastruktur, di mana swasta dan prinsip-prinsip pasar AS diberikan tempat untuk berkembang. 

Prinsip-prinsip tersebut termasuk melonggarkan aturan perdagangan, menjamin pinjaman kepada dunia usaha, memberikan beasiswa untuk belajar di Amerika, serta menciptakan program pengembangan pertanian dengan cara membuka pasar negara miskin untuk perusahaan agrobisnis besar. 

Kebijakan-kebijakan seperti itu tentu menguntungkan sektor swasta, meski perusahaan tidak terlibat aktif dalam pengambilan keputusan atau melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut. Di sisi lain, sejak awal 2000an (di empat pemerintahan yang berbeda), peran sektor swasta dalam bantuan luar negeri semakin tumbuh dan berkembang, sampai-sampai dianggap sebagai masa depan. 

Peran USAID kadang digambarkan sebagai 'katalistik', kadang sebagai 'pendukung', dengan katalis dan pemberdayaannya dilakukan oleh perusahaan swasta. 

Kini, USAID dapat membuat kontrak langsung dengan perusahaan-perusahaan besar untuk merancang dan melaksanakan program pembangunan di luar negeri yang dilakukan di bawah bendera USAID. Tentu dengan dukungan rakyat Amerika yang diwakili bendera tersebut.

Markas besar USAID di Washington

Berubahnya peran sektor swasta dari vendor menjadi mitra USAID dibantu pula oleh dua lembaga baru di awal 2000an, yaitu GDA dan DCA. GDA, atau Aliansi Pembangunan Global, adalah “kemitraan di mana USAID dan sektor swasta bekerja sama untuk mengembangkan dan menerapkan pendekatan berbasis pasar, demi memecahkan tantangan pembangunan.” Melalui GDA, perusahaan-perusahaan itu bekerja dengan USAID menciptakan program-program yang berada di persimpangan diagram Venn, antara keuntungan perusahaan dan kepentingan USAID. Dalam bahasa awam disebut solusi “win-win” atau “berbuat baik dengan berbuat lebih baik.” Di sisi lain, DCA atau Otoritas Kredit Pembangunan, menjadi prakarsa yang digunakan USAID untuk memberikan pinjaman, jaminan pinjaman, dan jaminan risiko kepada dunia usaha—yang pada dasarnya melindungi bisnis tersebut dari segala risiko keuangan ketika mereka memasuki pasar baru atau melakukan privatisasi infrastruktur publik di negara-negara berkembang. DCA telah dihapus dari USAID dan menjadi entitas terpisah bertugas memberikan bantuan keuangan kepada perusahaan swasta yang melaksanakan proyek di negara-negara berkembang.

Pelibatan USAID di sektor swasta menjadi preseden buruk selama bertahun-tahun, di mana 'kemenangan' sektor swasta sering kali dibangun di atas 'kerugian' rakyat yang seharusnya dibantu. 

Pada 2000-an, ketika militer AS menyerbu Irak dan Afghanistan, USAID ditugaskan untuk 'membangun kembali' kedua negara, konon untuk mendapatkan hasil maksimal dari alokasi pendanaannya. 

Prakarsa GDA dan DCA berperan penting dalam penyusunan kontrak dengan perusahaan-perusahaan AS yang akan membangun kembali Irak dan Afghanistan. Sebulan lebih sebelum Irak benar-benar diserbu Amerika, USAID mulai membuat penawaran ke beberapa perusahaan yang 'memenuhi syarat' untuk membangun kembali kedua negara tersebut.

Bechtel adalah salah satu yang memenangkan penawaran USAID; berkat koneksi politiknya yang erat di pemerintahan AS. Pada awal 2000-an misalnya, Bechtel duduk di berbagai badan berpengaruh yang memberikan nasihat kepada Departemen Pertahanan, sekaligus menggalang dukungan publik agar menyetujui invasi AS ke Irak dan Afghanistan. 

Bechtel meraup untung besar dari perang setelah menerima kontrak lebih dari US$1 miliar. Batasan antara perang, bantuan pembangunan, dan laba perusahaan mulai kabur, sekaligus memakan banyak biaya bagi AS maupun Irak. 

Pada 2006, setelah tidak mampu menyelesaikan lebih dari separuh proyek, serta menyebakan 52 pekerjanya terbunuh (kebanyakan orang Irak), Bechtel meninggalkan negara itu.

Sumber: