Kisah sukses seperti ini sangat menyesatkan. Di Nigeria, berdasarkan Laporan Situasi Program Pangan Dunia Juli 2020, 4,3 juta orang mengalami kerawanan pangan. Di beberapa wilayah, banyak orang makan satu kali atau kurang dalam sehari.
Masalah ini terjadi, menurut FTF, karena pembatasan impor dan kemampuan sektor swasta untuk mengembangkan agribisnis. Dalam rencana negara Nigeria 2018 yang dikeluarkan FTF, mereka berjanji untuk memperbaiki masalah tersebut dengan memfasilitasi investasi sektor swasta dalam perekonomian pertanian Nigeria.
Kisah-kisah yang disampaikan oleh ReelFruit membantu menangkap imajinasi publik dan menunjukkan kepada kita seperti apa wirausahawan sukses itu setelah semua pembatasan sektor agrobisnis dicabut. Pada saat yang sama, kontrak bernilai jutaan dolar ditandatangani USAID dengan perusahaan besar seperti DuPont atau Walmart.
Kontrak-kontrak seperti ini tidak dimasukkan ke dalam laporan pencapaian program. Padahal kontrak-kontrak itulah yang pada akhirnya mengubah cara orang makan dan bercocok tanam (bahkan berbisnis) di negara-negara seperti Nigeria.
Meski perusahaan-perusahaan besar seperti ini memiliki kendali atas negara-negara berkembang, mereka hampir tidak pernah berkantor di negara-negara seperti Nigeria. Pada 2014 misalnya, 48 % mitra KPS USAID adalah mitra non-lokal. Mitra non-lokal itu bertanggung jawab atas 72 % total investasi di wilayah KPS.
Pada 2015, USAID bekerja sama dengan setidaknya 54 dari perusahaan-perusahaan Fortune 500, termasuk mendirikan KPS dengan setidaknya 48 perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu memiliki lebih dari lima kemitraan, masing-masing dengan Microsoft, Intel, Cisco, Coca-Cola, dan Johnson & Johnson. (Bersambung) (Igor Rangga)