Menerjemahkan Kesepakatan Global ke Tindakan Lokal: Diskusi Panel di Adexco 2024 Menyoroti Strategi Mitigasi Bencana

Menerjemahkan Kesepakatan Global ke Tindakan Lokal: Diskusi Panel di Adexco 2024 Menyoroti Strategi Mitigasi Bencana

Diskusi Global Forum for Sustainable Resilience. Ist--

JurnalisID - Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) memasuki hari kedua pada perhelatan Asia Disaster Management and Civil Protection Expo & Conference (Adexco) 2024. Acara dibuka dengan adanya kegiatan panel diskusi bertajuk 'Menerapkan Kesepakatan Global di Tingkat Nasional dan Lokal [Implementing Global Agreements at National and Local Levels]' yang melibatkan berbagai stakeholder terkait mitigasi bencana, di Hall D2 Jakarta International Expo Kemayoran.

Sesi diskusi menghadirkan I Putu Suta Wijaya, perwakilan dari Forum Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction Forum) Bali; Thandie Mwape, Kepala Kantor Urusan Kemanusiaan PBB (United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs - UNOCHA); dan M. Helmi Abidin, Regional Project Manager - Urban Act Project - United Cities and Local Governments Asia-Pacific (UCLG ASPAC).

Pada kegiatan ini, para pembicara membahas mengenai cara yang dapat dilakukan agar kebijakan pengurangan risiko bencana (PRB) global, seperti tujuan Perjanjian Paris, dan Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dapat diimplementasikan menjadi tindakan lokal yang efektif. Diskusi juga mencakup upaya untuk meningkatkan integrasi dan koordinasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta.

Panel diskusi dibuka dengan paparan Thandie Mwape, Kepala Kantor Urusan Kemanusiaan PBB (UN OCHA Indonesia), yang menjelaskan bahwa penerjemahan kerangka kebijakan global menjadi tindakan lokal memerlukan kerjasama dari banyak pihak dan secara jangka panjang. Ia mengingatkan akan adanya perjanjian AADMER (ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response) Work Programme yang berjalan sejak 2021 hingga 2025. “Untuk mencapai tujuan global pengurangan risiko bencana, kita harus menyadari bahwa prosesnya adalah maraton, bukan sprint, dan memerlukan strategi jangka panjang yang menyeluruh. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan adalah pemberdayaan komunitas, peningkatan sistem peringatan dini, dan implementasi kebijakan yang nyata dan terukur. Kita harus memastikan pengembangan kapasitas masyarakat diterjemahkan menjadi tindakan nyata, memperkuat koordinasi, dan memberikan dukungan kepada komunitas yang mungkin terdampak bencana. Melalui gotong royong dan saling mendukung, kita dapat membangun resiliensi dan menghadapi bencana dengan lebih baik.”

Pentingnya penjembatanan penerjemahan strategi global ke lokal juga disambut oleh M. Helmi Abidin, pada pemaparannya mengenai kerja UCLG ASPAC untuk mendukung pemerintahan lokal. UCLG telah turut membantu pemerintah daerah dalam menerjemahkan kesepakatan global, membantu 240,000 pemerintah daerah di dunia untuk menjawab tantangan pengimplementasian kesepakatan hingga ke tingkat masyarakat. “Bencana biasanya terjadi pada tingkat lokal, oleh karenanya pemerintah daerah memiliki peranan yang penting karena mereka yang  paling dekat dengan masyarakat terdampak, dan mempengaruhi upaya mitigasi dan efektivitas respons. Untuk memperkuat upaya pemerintah daerah dalam pengurangan risiko bencana, penting untuk fokus pada tiga strategi utama. Pertama, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dengan memperkenalkan peralatan baru (promoting new tools) untuk mengukur tingkat resiliensi daerah masing-masing. Kedua, menyediakan platform untuk berbagi pengetahuan untuk daerah-daerah yang mungkin menghadapi tantangan serupa. Lalu yang terakhir, mendorong komitmen pada tingkat regional untuk mencapai Target E dari Kerangka Sendai, yaitu meningkatkan jumlah negara yang mempunyai strategi pengurangan risiko bencana di tingkat nasional dan lokal.

Beliau juga memaparkan studi-kasus dari beberapa area lain sebagai pembelajaran, “Beberapa kota besar Asia mengalami sinking city. Ini terjadi di Jakarta, Bangkok, dan Manila. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah berperan penting untuk mewujudkan kesepakatan global terkait kebencanaan, namun seringkali ada kepentingan politik maupun keterlibatan yang menyebabkan perbedaan prioritas dan pendanaan.” Sejauh ini kami telah membantu pemerintah daerah seperti Pemerintah Kota Palu pasca-bencana gempa 2018 maupun strategi Pemerintah DKI Jakarta terkait sektor kesehatan.

Forum Pengurangan Risiko Bencana Bali kemudian menceritakan langkah-langkah apa yang telah mereka lakukan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat yang paling mungkin terdampak bencana, sebagai bentuk mitigasi dan pengurangan risiko. “Di Bali, kegiatan yang kami lakukan mencakup dokumentasi kesiapan bencana, kolaborasi dalam bentuk pelatihan, dan pelaksanaan simulasi secara berkala. Untuk mencapai ini, diperlukan penguatan kapasitas organisasi baik secara internal maupun melalui kemitraan eksternal dengan LSM lokal, pemerintah, dan sektor swasta, sambil tetap menghormati budaya lokal. Namun, pada pelaksanaannya, tantangan muncul ketika pedoman tidak selalu sesuai dengan kondisi lokal yang sebenarnya, sehingga perlu modifikasi dan penyesuaian. Oleh karena itu, kami membentuk DESTANA, atau Desa Tangguh Bencana, bagi desa-desa lokal. Meyakinkan pemimpin desa bisa menantang, tetapi implementasi yang sukses di desa lain sering kali membuat desa yang awalnya menolak kemudian mencari keterlibatan,” ucap  I Putu Suta Wijaya.

Berbagai pertukaran pengetahuan oleh stakeholder pada sesi ketiga ini, membuktikan komitmen BNPB dan dalam meningkatkan efektivitas kolaborasi antar negara dan juga antara berbagai pemangku kepentingan. Hasil diskusi ini dapat menciptakan pendekatan yang lebih inklusif dan terintegrasi dalam menerapkan kesepakatan global di tingkat nasional dan lokal, serta mendukung pencapaian tujuan keberlanjutan dan ketahanan di region ASEAN.

Sumber: