Pentingnya Kesatuan Pemahaman Global pada Penerapan Kebijakan Mitigasi Kebencanaan di Indonesia
Adexco 2024 di JIExpo Kemayoran.-DOK.ADEXCO-
JurnalisID — Berusaha menyoroti pentingnya penerapan berbagai perjanjian global di level nasional dan lokal, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan SIAP SIAGA (Program Kemitraan Australia-Indonesia untuk Manajemen Risiko Bencana) menginisiasi workshop interaktif bersama dengan perwakilan berbagai instansi pemerintah di Forum Global untuk Ketahanan Berkelanjutan (Global Forum for Sustainable Resilience/GFSR).
Dilaksanakan di JIExpo Kemayoran, Rabu (11/9), sesi kedua bertajuk 'Mengintegrasikan Risiko Sistemik ke dalam Perencanaan, Pembuatan Kebijakan, dan Diplomasi Global (Integrating Systemic Risk into Planning, Policy Making and Global Diplomacy)' dimoderatori Said Faisal, penasihat senior SIAP SIAGA.
Sesi ini menghadirkan Raditya Jati, selaku Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Laksmi Dhewanthi, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI KLHK), serta Tri Tharyat, Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri.
Workshop interaktif ini kembali membawa empat pilar resiliensi keberlanjutan yang telah dibahas sebelumnya pada Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) edisi ke-7 oleh UN Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) yang diadakan bersama Adexco pertama di Bali, 23-28 Mei 2022.
Keempat pilar tersebut ialah (1) Penguatan kesiapsiagaan bencana melalui investasi dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi; (2) Akses terhadap pembiayaan dan transfer teknologi untuk manajemen risiko bencana; (3) Membangun infrastruktur yang tangguh; serta (4) Menerapkan perjanjian global di tingkat nasional dan lokal, seperti Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim (Paris Agreement), Kerangka Kerja Sendai (Sendai Framework) tentang Ketahanan Risiko Bencana, dan 17 poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB.
Dari sisi kebijakan, pemerintah telah mendoong setiap pemerintah kota/kabupaten wajib menyusun/memiliki rencana penanggulangan bencana (RPB) daerah masing-masing. Efektivitas kebijakan ini tergantung pada pemaduan penanggulangan bencana di level pemerintah daerah, dan kerja sama dengan beberapa pihak.
Pada pemaparannya, Raditya Jati menyampaikan bahwa Indonesia telah secara tahunan telah mengevaluasi resiliensi melalui indeks terukur pada setiap provinsi untuk mengukur komitmen pemerintah daerah dalam menerjemahkan kebijakan ke dalam praktik.
"Rencana ini mengintegrasikan pelaksanaan kebijakan dan bertujuan untuk menangani The 3rd Asia Disaster Management And Civil Protection Expo & Conference 2024, The 2nd Global Forum For Sustainable Resilience 2024, And ASEAN High-Level Dialogue On The Occasion Of The 20th Commemoration of The 2004 Indian Ocean Tsunami pencegahan dan kesiapsiagaan bencana, dengan mewajibkan pemerintah daerah mematuhi standar pelayanan minimum sub urusan bencana," katanya.
Baca juga: Adexco Ketiga dan GFSR Resmi Dibuka, Terintegrasi bersama Rangkaian IEE Series 2024
Salah satu potensi penyebab bencana adalah perubahan iklim, dan untuk menyikapi dampaknya maka Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK telah menyiapkan berbagai program pendukung seperti pembangunan desa berketahanan iklim, inventarisasi gas rumah kaca (GRK), pengendalian kebakaran hutan dan lahan, hingga mendorong peningkatan inovasi teknologi rendah karbon di berbagai industri.
"Pengembangan resiliensi terhadap perubahan iklim hanya dapat terwujud Ketika pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta membuat pilihan pembangunan yang inklusif dan memprioritaskan keberlanjutan. Bagi Indonesia, komitmen kita tidak hanya terbatas pada pengurangan emisi gas rumah kaca, di mana adaptasi sama pentingnya dengan mitigasi. Dengan fokus pada kedua aspek ini, kita bertujuan untuk menciptakan pendekatan komprehensif dalam menghadapi tantangan iklim dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan bagi semua," ucap Laksmi Dhewanthi.
Penerapan berbagai kebijakan global pada level nasional-lokal tentu menyisakan berbagai tantangan, terutama keterlibatan berbagai stakeholders, baik itu dari pihak internasional, maupun dari pihak swasta yang memiliki pendapat berbeda-beda terkait penanganan isu kebencanaan dan dampak perubahan iklim. Indonesia yang memiliki banyak pulau kecil dengan sumber daya air melimpah tentu memerlukan strategi khusus dan pembelajaran kepada negara kepulauan lain yang memiliki karakteristik serupa.
Oleh karena itu, kerja sama multilateral diperlukan untuk bisa bersama-sama membangun ketahanan berkelanjutan atas dan mencari solusi inovasi mitigasi kebencanaan.
"Indonesia berperan aktif dalam advokasi global mengenai ketahanan berkelanjutan dengan bergabung dalam G20 DRR Working Group, ASEAN Leaders’ Declaration on Sustainable Resilience, serta berbagai organisasi lainnya. Kita juga memainkan peran kunci kepemimpinan dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB) sebagai Co-Chair of the Group of Friends on Disaster Risk Reduction, Chair of the UNDRR Support Group periode 2022-2023, dan Co-Facilitator of the Mid-Term Review of the Sendai Framework. Dengan memanfaatkan posisi-posisi ini, Indonesia dapat lebih mempengaruhi kebijakan PRB global, memastikan bahwa resiliensi berkelanjutan tetap menjadi fokus utama dalam diskusi internasional," ujar Tri Tharyat dalam menyoroti pentingnya platform seperti GFSR dan ADEXCO ini untuk menjadi wadah berkumpulnya perwakilan multilateral. (Atn)
Sumber: adexco