Pentingnya Infrastruktur Tangguh dan Inovasi Teknologi pada Sektor Manajemen Kebencanaan dan Perlindungan Sipil

Pentingnya Infrastruktur Tangguh dan Inovasi Teknologi pada Sektor Manajemen Kebencanaan dan Perlindungan Sipil

Diskusi pada Global Forum for Sustainable Resilience. Ist--

JurnalisID - Mengutamakan salah satu pilar dari konsep Resiliensi Berkelanjutan, sesi diskusi pada Global Forum for Sustainable Resilience (GFSR) berlanjut hadirkan para pakar untuk membicarakan topik “Memperkuat Kesiapsiagaan Bencana melalui Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Inovasi [Strengthening Disaster Preparedness through Science, Technology, and Innovation]” dan juga “Membangun Infrastruktur yang Tangguh [Building Resilience Infrastructure]” dalam rangkaian Asia Disaster Management and Civil Protection Expo & Conference (ADEXCO) 2024.

Berlangsung pada Kamis 12 Septrmber 2024, diadakan di Hall D JIExpo Kemayoran, kedua sesi ini berusaha memberikan solusi inovasi teknologi terbaik pada sektor manajemen kebencanaan dan perlindungan sipil.

Sesi keempat dari agenda GFSR ini menghadirkan  Prof. Hammam Riza, President KORIKA, Collaborative Research and Industrial Innovation in Artificial Intelligence menekankan perlunya pendekatan terintegrasi dalam menangani masalah pencegahan bencana. Ia mencatat bahwa kemajuan dalam AI mikroskopis meningkatkan sistem peringatan dini dengan menyediakan informasi yang lebih rinci dan akurat, sehingga meningkatkan pengelolaan risiko terkait bencana.

Di sisi lain,  Harkunti P. Rahayu, Ph.D., perwakilan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia, memaparkan bahwa inovasi dapat meningkatkan inklusivitas secara signifikan melalui pemanfaatan teknologi yang efektif, keterlibatan aktif organisasi masyarakat, dan program pelatihan yang tepat sasaran. Ia juga menggarisbawahi pentingnya merancang sistem peringatan dini agar dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan, lansia, dan anak-anak. Dengan memastikan bahwa setiap individu dapat mempersiapkan dan merespons bencana dengan baik, kita dapat meningkatkan ketahanan bencana secara keseluruhan.

Data juga memainkan peranan dalam penerapan teknologi, seperti yang disampaikan oleh Erik Kjaergaard dari Swiss Agency for Development & Cooperation (SDC). Dalam paparannya, Erik menekankan bahwa digitalisasi memiliki peran krusial dalam strategi kerjasama internasional. Kemajuan teknologi digital memungkinkan analisis data yang komprehensif sehingga mampu meningkatkan pengambilan keputusan dan perencanaan strategis.

Dalam konteks kemajuan teknologi yang pesat, Dr. Nuraini Rahma Hanifa, S.T., M.T., dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menekankan pentingnya pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk memastikan bahwa inovasi teknologi dapat diimplementasikan dengan optima dan dimanfaatkan secara efektif. Untuk mendukung pengembangan kapasitas ini, terdapat banyak organisasi yang menyediakan pendanaan untuk penelitian dan startup yang bertujuan memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi dan mengelola bencana.

GFSR kemudian dilanjutkan pada sesi kelima dengan pemaparan studi kasus mengenai Membangun Infrastruktur yang Tangguh (Building Resilient Infrastructure). Mengingat Indonesia terletak di wilayah rawan bencana, penting untuk mempersiapkan infrastruktur bahkan industrialisasi teknologi kebencanaan agar mampu menghadapi kemungkinan bencana, termasuk megathrust. Salah satu cara untuk meningkatkan resiliensi terhadap dampak bencana adalah dengan membangun infrastruktur yang tahan bencana.

Direktur Pengembangan Bisnis Global di Dyntek Pte Ltd, Maxim Peshkov, di sesi ini menekankan pentingnya perkembangan teknologi konstruksi untuk menunjang perkembangan mitigasi bencana. Teknologi yang ditawarkan terkait pengembangan material konstruksi yang ringan, kuat, dan lebih mudah digunakan dibandingkan material konstruksi tradisional. Material ini merupakan alternatif yang inovatif dalam pembangunan berkelanjutan.

Ir. Lutfi Faizal dari Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, menjelaskan bahwa korban jiwa saat bencana sering kali disebabkan oleh kerusakan bangunan atau infrastruktur, bukan oleh bencana itu sendiri. Keruntuhan bangunan atau infrastruktur umumnya disebabkan oleh ketidaksesuaian terhadap standar desain dan konstruksi tahan gempa saat proses pembangunan. Oleh karena itu, penting untuk mengubah mindset agar kita dapat membangun dengan lebih baik dan lebih aman. Penilaian risiko terhadap kemungkinan kegagalan bangunan perlu dilakukan sebelum bencana terjadi, daripada harus menghadapi risiko setelah terjadi bencana.

Hal ini dipertegas pula oleh Miyamoto International, sebuah organisasi yang ahli dalam risiko gempa bumi dan fokus pada rekayasa ketahanan gempa serta pengurangan risiko bencana. Bill Marsden dan Julian Thedja selaku perwakilan Miyamoto International menyatakan bahwa sebelum membangun, perlu dilakukan penilaian teknis yang tepat untuk bangunan dan infrastruktur. Dengan langkah ini, kita dapat membangun kembali kota-kota dengan lebih aman. Salah satu contoh kerja sama mereka adalah dengan BPBD DKI dalam melakukan pengkajian terhadap beberapa bangunan sekolah di area Jakarta.

Sejalan dengan itu, Hiroyuki Yamamoto dari Japan International Cooperation Agency pun menyatakan bahwa Jepang terus mendukung pembangunan infrastruktur yang tangguh di Indonesia. Salah satu alasan dukungan ini adalah karena Indonesia, seperti Jepang, adalah negara vulkanik yang rawan gempa. Oleh karena itu, Jepang membagikan standar dan pedoman pembangunan gedung dan infrastruktur yang sama. Contoh dukungan tersebut adalah proyek Dam Sabo di Gunung Merapi, yang bertujuan untuk mengendalikan dampak erupsi.

Melalui kedua sesi ini, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan bencana harus beralih dari pendekatan responsif ke pendekatan preventif. Resiliensi Keberlanjutan bukan tentang menangani sesuatu yang terjadi setelah bencana, namun untuk mengantisipasi sesuatu yang belum dan akan terjadi. Oleh karena itu, penerapan infrastruktur tahan gempa perlu diterapkan di semua aspek pembangunan, terutama di daerah rawan bencana. Ini harus disertai dengan sosialisasi, pelatihan, dan literasi bagi masyarakat serta para ahli teknik sipil.




 

Sumber: