Sketsa Jakarta : Drama Komuter Ibu Kota
Suasana di dalam kereta komuter Jabodetabek.-Ilustrasi-
Kalau materi debatnya cuma soal dorong-mendorong atau injak-menginjak, antarlelaki pula, biasanya berakhir damai jika salah satu minta maaf, minimal melepas senyum tanda penyesalan.
Senyum dan kata maaf bak oase di padang pasir, karena kondisi kereta pagi dan sore memang jauh dari ideal. Saat kaki mencari tempat berpijak, kemungkinannya cuma menginjak atau diinjak.
Tapi kalau kasusnya mengarah pada pelecehan, seperti memaksakan adu pantat atau tangan gerayangan, lazimnya melibatkan lelaki dan perempuan, kerap tak akan selesai tanpa campur tangan petugas keamanan.
Minimal pihak perempuan memaki-maki si laki-laki hingga stok sumpah serapahnya habis.
Jangan sembarangan dengan para perempuan komuter. Mereka saban hari ditempa oleh kerasnya perebutan kursi, antre eskalator, hingga berdiri berjam-jam di kereta.
BACA JUGA: Laron dan Perburuan Cinta Sejati
Jadi, jangan dipancing, bibit amarah itu seperti api dalam sekam.
Mereka para pelanggan kereta komuter, kebanyakan adalah kelas menengah yang tidak kaya, tak juga miskin.
Kelas menengah komuter ini yang penghasilannya dipotong BPJS, dipusingkan naiknya UKT, terdampak setiap kali ada kenaikan BBM, terancam PHK setiap saat, dan belakangan harus merelakan 3 persen gajinya buat Tapera.
Mereka perempuan dan lelaki, orang tua dan orang muda, kebanyakan bergaji sekitar garis UMR, yang setiap hari harus berdamai dengan diri sendiri di tengah berbagai kesulitan dan ketidakpastian hidup.
Namun seperti juga mbak-mbak yang marah saat pantatnya terus dipepet, kelas menengah komuter ini juga tentunya punya batas kesabaran.
Meski cinta damai dan pandai memendam perasaan, timbunan api dalam sekamnya dapat setiap saat membakar. Ketika ketidakadilan terlalu sulit untuk diterima akal dan pikiran, api yang menyala bisa sangat sulit dipadamkan.
Penumpang tinggal sedikit ketika kereta masuk tujuan akhir Stasiun Tanah Abang.
Saya keluar komuter sambil mengenang debat panas pagi ini. Entah besok apalagi pemicunya.
Apakah kesabaran esok masih sama tingginya dengan kesabaran hari ini. Mengingat himpitan masalah ekonomi kian hari kian menggerogoti, sementara berita para pejabat korupsi dalam jumlah fantastis terdengar setiap hari. Ah! (Icul)
Sumber: cerpen icul