ALFI/ILFA Tolak Upaya Penghapusan 2 Ayat di Pasal 110 dalam RUU Pelayaran

ALFI/ILFA Tolak Upaya Penghapusan 2 Ayat di Pasal 110 dalam RUU Pelayaran

Rapimnas Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) 2024.-Istimewa-

JurnalisID – Dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI dengan Kementerian Perhubungan pada Jumat (20/9) untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/lLFA) menyatakan menolak usulan pemerintah untuk menghapus Ayat 1 dan Ayat 5 Pasal 110  RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No 17/2008 tersebut.

Penolakan ini terus disuarakan ALFI/ILFA sejak Konsultasi Publik yang digelar Kemenhub pada 16 Agustus 2024 lalu. Dan ALFI/ILFA menyatakan siap menggelar aksi mogok secara nasional apabila Pemerintah tetap mempertahankan posisi untuk menghapus dua ayat Pasal 110 itu (Ayat 1 dan Ayat 5).

"Posisi ALFI/ILFA ini telah disampaikan melalui beberapa cara baik lisan pada  rapat-rapat pembahasan tentang  RUU ini, dan juga telah disampaikan secara tertulis secara resmi kepada DPR RI dan juga pemerintah (Kemenhub)," demikian dinyatakan Ketua Umum ALFI/ILFA Akbar Djohan.

Akbar mengingatkan bahwa penghapusan ayat-ayat itu akan membuka peluang kepada Otoritas Pelabuhan untuk bertindak sewenang-wenang tanpa memikirkan dampak negatif yang akan diderita oleh dunia bisnis dan negara.

"Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI/ILFA) menolak usulan pemerintah untuk menghapus Pasal 110 Ayat 1 dan Ayat 5, karena akan membuka peluang kepada Otoritas Pelabuhan untuk sewenang-wenang dan secara sepihak menetapkan tarif terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan," demikian isi surat ALFI/ILFA yang telah disampaikan kepada DPR dan Kemenhub pada Senin, 19 Agustus 2024.

Akbar juga menilai penghapusan ayat-ayat itu dapat berpengaruh terhadap tarif dan berdampak pada eksistensi serta keberlanjutan usaha anggota ALFI/ILFA yang berjumlah lebih dari 4.300 perusahaan dan usaha kecil menengah (UKM), yang lebih dari 100.000 karyawan. Ini belum termasuk anggota perusahaan dan karyawan dari asosiasi lain yang jumlahnya bisa mewakili lebih dari 10.000 perusahaan dan ratusan ribu karyawan.

"Karena otoritas dapat secara sepihak menetapkan tarif terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan,” katanya.

Baca juga: Menjaga Asa Investasi dan Keberlanjutan Sektor Logistik di Asia Pasifik

Akbar meminta DPR untuk tetap mempertahankan usulan pada RUU dimaksud untuk melibatkan asosiasi dalam Pasal 110 (Ayat 5) dalam penentuan tarif jasa kepelabuhan karena hal ini merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat yang diatur dalam UU Pelayaran di mana Pasal 274 dan Pasal 275 UU 17/2008 tentang Pelayaran menetapkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayaran secara optimal.

"Sehingga usulan DPR untuk melibatkan asosiasi dalam penentuan jasa kepelabuhanan adalah sangat relevan," terang Akbar.

Dijelaskannya, penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang terlalu tinggi akan berakibat pada bertambahnya biaya logistik yang tinggi dan mengakibatkan harga produk dalam negeri menjadi tidak kompetitif di pasar nasional dan global. 

"Penghapusan pasal 110 Ayat 1 dan Ayat 5 dapat menimbulkan ekses favoritisme yang hanya menguntungkan anak perusahaan operator pelabuhan BUMN dan mematikan stakeholder lainnya di luar anak perusahaan Otoritas Pelabuhan," tegasnya.

Akbar menuturkan, sampai saat ini penetapan tarif barang dilakukan melalui kesepakatan antara masing-masing asosiasi yaitu Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), ALFI/ILFA, Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), dan Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI). 

Ia menilai alasan pemerintah menyebut Pasal 110 Ayat 1 dan 5 sudah diatur dalam Peraturan Menteri (PM) 72/2017 dan PM 121/2018 tidak relevan lagi. Sebab, kedua PM tersebut sekarang dalam proses diubah melalui Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang baru. 

Sumber: