Seluruh Pihak Diminta Objektif Sikapi RUU Polri
Diskusi publik dan Seminar Nasional tentang RUU Polri.-Istimewa-
JurnalisID - Advokasi Rakyat Untuk Nusantara (ARUN) yang pernah membuat heboh media dalam dan luar negeri pada 2011 lalu berkat kiprahnya dalam membela ribuan kepala keluarga yang digusur dari rumah pekarangan mereka dan dikenal dengan Kasus Register 45 Mesuji Lampung kini menggelar diskusi publik tentang RUU Polri.
Diskusi menarik itu yang berlangsung pada Sabtu (29/6) itu menghadirkan tiga narasumber yaitu Dr Yusuf Warsim SAg, SH MH dari Kompolnas, Dr H Abdul Chair Ramadhan SH MH dari akademisi, serta Mayjen TNI (Purn) Dr Saurip Kadi, mantan Aster Kasad.
Diskusi publik itu dihadiri lebih dari 100 fungsionaris ARUN dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, sejumlah tokoh dan aktifis serta perwakilan mahasiswa Fakultas Hukum dari sejumlah Perguruan Tinggi di Jakarta. Keynote speaker Dr Bob Hasan dalam kapasitas sebagai Ketua Umum ARUN mengatakan Diskusi publik untuk membahas sebuah RUU merupakan cara ilmiah dan objektif yang semestinya ditempuh kaum terdidik, tanpa harus turun ke jalan yang dampaknya sangat mengganggu kepentingan rakyat pengguna jalan.
Dalam diskusi tersebut, perwakilan dari Kompolnas pernah mengusulkan kepada Presiden RI untuk menambah kewenangan Polri dalam hal ini secara khusus dalam kaitan penambahan kewenangan di bidang siber sebagai kebutuhan kekinian yang harus dimiliki Polri, dan kesetaraan hak anggota Polri dengan aparatur negara lainnya, khususnya dalam soal batas usia pensiun.
Dijelaskan pula bahwa RUU Polri yang sedang dibahasnya adalah hak inisiatif DPR RI, dan dari naskah akademiknya dapat diketahui bahwa latar belakang diajukannya RUU tersebut adalah karena kebutuhan hukum sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman dan tuntutan tugas Polri kekinian.
Hal serupa juga dijelaskan narasumber ketiga Dr H Abdul Chair Ramadhan. Lebih dari itu, menurut dia, RUU Polri diperlukan untuk mempertegas pemahaman tentang Hankam yang semestinya adalah dua unsur yang bisa dipilah tetapi tidak bisa dipisah.
"Persoalannya UUD sudah memisah antar keduanya, sehingga diperlukan pemahaman keamanan di era kekinian, karena pada dasarnya pemangku kekuasaan haruslah dilengkapi dengan kewenangan yang memadai," ujarnya.
Dijelaskan pula bahwa dalam proses pembentukan UU, mutlak harus melibatkan partisipasi publik, karena begitu menjadi UU akan mengikat segenap rakyat dan juga penyelenggara negara.
Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Dr Saurip Kadi di awal paparannya menjelaskan, menyoal tambahan kewenangan Polri dalam RUU tentang pengertian Keamanan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Ayat 7 RUU Polri, karena dampak ikutannya pada penambahan kewenangan Polri yang dirumuskan dalam pasal-pasal RUU tersebut, akan membuat Polri menangani keamanan yang bersumber dari hakikat ancaman yang datang dari luar negeri.
Lebih dari itu, Saurip mempertanyakan di negara mana ada polisi dengan kewenangan untuk menangani keamanan yang berasal dari hakikat ancaman yang datangnya dari luar negeri.
Lebih lanjut Saurip mempertanyakan betulkah saat ini rakyat membutuhkan penambahan kewenangan dengan merambah ke yuridiksi hukum yang menjadi kewenangan Lembaga Negara lainnya seperti TNI, BIN, dan lainnya. Dijelaskan bahwa bukankah kebutuhan hukum yang saat ini harus segera dibikin adalah UU Keamanan Nasional, karena sang 'anak' dalam hal ini UU TNI dan Polri lebih dahulu lahir, mendahului kelahiran 'orangtua'-nya. Sementara yang dibutuhkan oleh Polri sendiri adalah soal kesejahteraan.
Dijelaskan bahwa dalam konsep reformasi internal ABRI paham keamanan sudah diubah secara mendasar. Keamanan bukan lagi output dari tugas lembaga negara manapun, tidak juga TNI dan Polri. Keamanan adalah output dari sistem sipil, karenanya bila terjadi masalah keamanan yang menyelesaikan terlebih dahulu adalah aparatur sipil dengan cara-cara sipil, termasuk Polri.
Namun begitu gagal atau bakal gagal atau dipastikan bakal jatuh korban maka saat itu beralih menjadi tugas TNI. Berangkat dari pengalaman generasi pendahulunya, Saurip balik bertanya: "Apakah Koes Plus yang dipenjara, gara-gara menyanyi, secara hukum, salah?", "Apakah Orba dengan konsep Dwifungsi ABRI secara hukum salah?", dan "Apakah marginalisasi anak keturunan PKI dengan Surat Keterangan Bersih Lingkungan secara hukum salah?".
Di sisi lain, apakah 'tool' pengelolaan negara yang dibikin di era Bung Karno dan juga era Pak Harto sesuai dengan Pancasila serta tujuan dan cita-cita didirIkannya NKRI. Maka yang penting untuk ke depan jangan lagi rakyat yang berjumlah 280 juta lebih ini dijadikan objek percobaan gagasan elite yang validitas kebenarannya belum teruji secara teori dan praktik oleh negara lain sekalipun.
Sumber: