JURNALISID.COM - Sebagian besar masyarakat Indonesia bergantung hidupnya di area pesisir atau pulau kecil, dengan banyaknya risiko yang mengancam antara lain abrasi, banjir rob, hingga cuaca ekstrem, karena iklim yang terus berubah.
Merespon tingginya kerentanan ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) menyelenggarakan seminar dengan tema 'Ancaman Dari Tepi Pantai: Mencari Strategi Nasional untuk Resiliensi Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil' pada hari ketiga rangkaian sesi konferensi dalam The 4th Asia Disaster Management & Civil Protection Expo & Conference (ADEXCO) di Jakarta International Expo (JIExpo), Jumat (12/9).
Tema ini diangkat sebagai upaya untuk mencari strategi nasional dari para pembicara yang hadir dengan berbagi pengalaman dari contoh dan praktik-praktik baik yang sudah dilakukan di berbagai daerah.
Dalam Ignite Stage I: Berbagi Praktik Baik, Palang Merah Indonesia (PMI) yang diwakili Ridwan S. Carman mengungkapkan PMI bertugas mendampingi pemerintah dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada dengan mengintegrasikan PMI yang banyak bekerja di akar rumput bersama akademisi dan tokoh agama. Sinergitas perlu diwujudkan untuk membangun ketangguhan masyarakat di daerah pesisir.
BACA JUGA:Pembukaan Konferensi dan Pameran Internasional ADEXCO 2025
Dilanjutkan oleh dua pembicara dari Universitas Pertahanan RI (UNHAN) Brigadir Jenderal TNI Susanto, S.I.P., M.Si. dan Laksamana Pertama TNI Dr. Yanda Dwira Firman Z, S.T., M.C.M., dimana UNHAN mendapat mandat untuk mencari solusi untuk mitigasi bencana pasang surut di Muara Angke. Solusi yang dikembangkan oleh UNHAN dengan membangun rumah apung dan rumah panggung beserta penataan wilayah lingkungan pemukiman di pesisir Muara Angke.
Abdul Wahib Situmorang dari Yayasan CARE Peduli (YCP) menambahkan bahwa daerah yang memiliki mangrove mengalami dampak yang lebih ringan atas hantaman gelombang jika dibandingkan wilayah-wilayah di garis pantai yang tidak memiliki mangrove atau mangrove yang sangat rusak, dan pelibatan masyarakat terutama perempuan sebagai pengambil keputusan di garis depan.
Setelah sesi Ignite Stage I, dilanjutkan dengan Sesi Panelis yang diawali Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati selaku pembicara kunci. Dalam penjelasannya, Raditya Jati memberikan gambaran pentingnya resiliensi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Indonesia adalah negara kepulauan yang rawan bencana dan bencana tsunami Aceh menjadi wake up call bagi kita.
“Kepulauan di Indonesia berzona merah dan kuning, kita harus melihat bahwa risiko akan lebih tinggi, tapi bukan berarti kita menyerah.” jelas Raditya, dalam keterangan persnya, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA:ADEXCO 2025 Jadi Panggung Inovasi dan Kolaborasi Penanggulangan Bencana Berkelanjutan
Raditya Jati menekankan bahwa bangsa Indonesia tidak bisa menyerah pada situasi ini, tapi justru menjadi momentum untuk membangun kesadaran kolektif agar siap menghadapi ancaman.
Direktur Kelautan dan Perikanan Bappenas, Mohamad Rahmat Mulianda melanjutkan paparan mengenai tantangan pembangunan dan perpindahan penduduk akibat penggenangan wilayah pesisir yang disebabkan oleh perubahan iklim. Ini sangat rentan untuk terjadi pergeseran tata ruang. Kondisi ini harus dikelola dengan baik untuk mencegah dampak buruk yang berkelanjutan. Potensi kerugian yang ditimbulkan dapat mencapai Rp72,9 triliun jika wilayah pesisir tidak dapat mengantisipasi risiko bencana terhadap kegiatan ekonomi.
Hadir melalui daring, Direktur Perencanaan Ruang Perairan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Abdi Tunggal Priyanto. Abdi menekankan penting melakukan perencanaan ruang laut yang terintegrasi dan mempertimbangkan mitigasi bencana. Penurunan daya dukung lingkungan dan sosial terjadi akibat tata ruang di wilayah pesisir yang sangat kompleks. Hal ini diperparah dengan kondisi penurunan tanah.
Manajer Program Bidang Lingkungan Dompet Dhuafa, Ahmad Baihaqi memaparkan program lembaganya yang telah dijalankan berada di wilayah Timur Sloko, Demak. Wilayah ini menghadapi kondisi yang sangat ironis: pembangunan proyek tol laut dan tanggul laut yang seharusnya menjadi solusi, justru memperparah kondisi rob dan kini menyebabkan kekeringan.